Polisi dan Penjahat Facebook-an

Hidayatullah.com—Kongres Polisi Eropa tanggal 19-20 Februari 2013 di Berlin menyoroti perang siber yang belakangan semakin marak dengan diretasnya situs-situs milik pemerintah maupun perusahaan besar di berbagai negara. Dan polisi ternyata bisa berhasil membekuk targetnya dengan bantuan situs jejaring sosial Facebook. Dilansir Deutsche Welle (21/2/2013), berdasarkan laporan perusahaan sekuriti Symantec, terjadi 5,5 milyar serangan siber di dunia internet sepanjang tahun 2011. Angka itu naik 81 persen dari tahun sebelumnya. Wakil presiden Symantec Jurgen Maurer mengatakan, di Jerman saja menurut data Kantor Kepolisian Kriminal Federal (BKA), pada periode yang sama terjadi sekitar 60.000 serangan siber. Dia menambahkan, tidak ada orang yang tahu pasti mengenai ancaman siber ini. Para penjahat internet seringkali satu langkah di depan dibanding aparat keamanan, oleh karenanya di dalam dan di luar negeri diperlukan intelijen siber yang kuat. Demikian dikatakan Hans-Georg Maasen, mantan presiden lembaga intelijen luar negeri Jerman BfV. Menurut Maasen, Kantor Federal untuk Keamanan Informasi yang bermarkas di Bonn, hanya bertanggungjawab menjaga agar infrastruktur berjalan dengan baik, tetapi mereka tidak punya wewenang melakukan investigasi atau pemantauan. Dalam konferensi itu Maasen menjelaskan bagaimana lembaganya melacak orang-orang yang menjadi target intelijen seperti para peretas, jihadis, ekstrimis sayap kanan di internet. Perangkat teknologi bisa digunakan untuk melacak keberadaan mereka, seperti dengan memfilter informasi teks dan video tentang target, atau dengan mengamati simbol dan tanda khusus yang biasa dipakai oleh kelompok mereka. Pelacakan lewat IP-address target dalam prakteknya tidak sesederhana kedengarannya, sebab pelaku kerap mengganti komputer dan server mereka, kata Maasen. Nick Keane dari Akademi Kepolisian Inggris berpendapat, internet ibarat jalan bebas hambatan yang tidak memiliki batas kecepatan. Sebagian besar pakar setuju bahwa pihak keamanan siber Jerman tidak banyak memiliki “senjata perang” dibandingkan sejawat mereka di angkatan bersenjata. Oleh karena itu menurut mantan direktur Europol Max-Peter Ratzel, polisi siber juga harus aktif di media sosial. Polisi, kata Ratzel, tidak hanya melacak target lewat situs jejaring sosial, tetapi mereka juga harus memiliki akun di media semacam Facebook atau Twitter. Aktif di forum-forum diskusi di internet juga menjadi bagian penting dari investigasi oleh aparat keamanan. Axel Brockmann kepala kepolisian di Honover negara bagian Niedersachsen, Jerman, menyoroti peran media sosial dalam memerangi kriminalitas di dunia nyata. Dia mengatakan sedikitnya ada delapan macam kasus kejahatan yang bisa diselesaikan dengan bantuan media sosial, termasuk tindak perkosaan, penganiayaan berat dan pencurian barang pribadi. Caranya adalah dengan mengumumkan ke publik kasus dan tersangka yang sedang diburu oleh polisi di Facebook. Tidak hanya memburu penjahat lewat Facebook, Kepolisian Niedersachsen juga membuka pendaftaran calon taruna polisi lewat media sosial. Dengan demikian, mereka akan mudah diketahui latar belakangnya.* Rep: Ama Farah Red: Dija

Read more


Abdul Qadir Jailani: Antara Akidah dan Karamahnya

Oleh: Luqman Hakim SIAPA tak kenal Syeikh Abdul Qadir Jailani? Di Indonesia, nama ini bukanlah nama yang asing. Hampir semua muslim Indonesia mengenalnya. Bahkan tidak hanya di Indonesia, ia dikenal baik di seluruh belahan dunia muslim. Namun sayang, tidak sedikit orang yang telah salah kaprah dalam menilai sosoknya. Dalam bahasa lain, mereka mengkultuskannya di atas manusia pada umumnya, hingga nyaris mensejajarkannya dengan nabi, bahkan lebih tinggi dari beliau (Nabi). Sebagai contoh, dalam karya Dr. Sa’id bin Musfir Al-Qahthani, As-Syeikh Abdul Al-Jailani wa Arauhu Al-I’tiqadiyah wa Ash-Shufiyah, diceritakan bahwa guru penulis (Al-Qahthani) pernah masuk ke kota Baghdad, Iraq. Ia masuk sekolah Al-Qadariyah. Di dinding qubahnya ditulis sebagian bait-bait syair dengan bahasa Persi. Adapun terjemahannya adalah: Penguasa dua dunia Syeikh Abdul Qadir Jailani Pemimpin keturunan anak Adam Syeikh Abdul Qadir Jailani Matahari, bulan, Arsy, Kursi dan Pena Berada di bawah Syeikh Abdul Qadir Jailani Lantas, siapa Abdul Qadir Jailani sebenarnya? Bagaimana pemahamannya dalam masalah akidah? Lantas, bagaimana dengan berbagai karamah yang dinisbatkan kepadanya sehingga ia dikultuskan? Dipuji Ibnu Taimiyah Ia adalah Abdul Qadir bin Abu Shalih Musa Janki Dausat bin Abu Abdullah bin Yahya Az-Zahid bin muhammad bin Dawud bin Musa bin Abdullah bin Musa Al-Jun bin Abdullah Al-Mahadh. Adapun nama “Jailani” yang disematkan di akhir namanya karena ia berasal dari negeri Jailan, yaitu negeri yang terpencil di belakang Thabrastan, yang dikenal dengan Kail atau Kailan. Blahir pada tahun 471 Hijriah, di mana pada zaman tersebut juga lahir ulama-ulama besar seperti Imam Al-Jauzi, Syeikh Abdullah bin Ahmad bin Qadamah, Syeikh Abu Umar bin Shalah, Syeikh Al-Mundziri, dan Syeikh Abu Samah. Maka tidak mengherankan jika Abdul Qadir Jailani kecil tumeliau buh menjadi ulama besar di zamannya dan memiliki pengaruh yang luas. Bukti bahwa ia ulama besar adalah banyaknya ulama yang memberikan pujian kepadanya, kitab-kitabnya yang masih dipelajari sampai sekarang, serta banyaknya murid-muridnya yang menjadi ulama. Sebagai contoh, di antara ulama yang memberikan pujian kepadanya adalah Ibnu Taimiyah. Dalam Fatawa Ibnu Taimiyah, beliau berkata, “Syeikh Abdul Qadir Jailani dan semisalnya merupakan Syeikh terbesar di masa mereka dalam hal berpegang kepada syariat, menyuruh kepada yang baik, mencegah dari yang mungkar, mendahulukannya daripada rasa dan takdir, serta termasuk Syeikh terbesar untuk meninggalkan dorongan hawa nafsu”. Akidah Ahlus Sunnah Sebagaimana diterangkan di atas, bahwa tidak sedikit orang yang mengkultuskannya hingga nyaris mensejajarkan bahkan lebih tinggi dari nabi. Maka dari itu, penting kiranya kita mengenal manhajnya dalam menjelaskan dan menyelesaikan permasalahan yang dihadapinya, khusunya masalah akidah. Dari buku-buku yang dikarangnya, dapat diketahui bahwa ketika Syeikh Abdul Qadir Jailani berbicara tentang akidah, maka dia tidak pernah keluar dari madlul (apa yang ditunjukkan) oleh Al-Quran dan hadits nabi. Hal ini ditunjukkan oleh perkatannya ketika menetapkan nama-nama dan sifat Allah Subhanahu Wata’ala. “Kami tidak keluar dari Al-Kitab dan As-Sunnah, kami baca ayat dan hadits, dan kami beriman kepada keduanya. Kami serahkan kepada Allah tentang bagaimana sifat itu kepada ilmu Allah”. Ia juga berkata, “Kami berlindung kepada Allah Subhanahu Wata’ala dari mengatakan tentang-Nya dan tentang sifat-sifat-Nya dengan perkataan yang tidak diberitakan Allah Subhanahu Wata’ala atau Rasul-Nya kepada kita” (Al-Ghinyah Lithalib al-haq Azza wa Jalla, hal. 56). Dari sini dapat kita pahami bahwa metode yang ditempuhnya adalah metode yang ditempuh adalah manhaj Ahlus Sunnah wal Jama’ah. Pun, ketika menjelaskan tentang keimanan, tauhid, kenabian, hari akhir, dan bid’ah misalnya; ia tidak berbeda dengan akidah Ahlus Sunnah wal jama’ah. Dalam hal keimanan, misalnya, Syeikh Abdul Qadir Jailani sepakat dengan ahussunnah wal jama’ah yang memberi makna iman sebagai perkataan dan perbuatan, yaitu perkataan dengan lisan dan perbuatan dengan hati dan anggota badan. Ia berkata, “Kami yakin bahwa iman adalah pernyataan dengan lisan, pengetahuan dengan hati dan perbuatan dengan anggota badan” (Al-Ghinyah, I, 62). Begitu pula dengan hal-hal lain seperti berkurang dan bertambahnya iman, Islam dan iman itu berbeda, serta tidak kafirnya orang yang melakukan dosa besar, melainkan fasik. Terkait yang disebut terakhir, Syeikh Abdul Qadir Jailani berkata,”Kami yakin bahwa orang yang oleh Allah Subhanahu Wata’ala dimasukkan ke dalam neraka karena dosa besarnya, tidak abadi di dalamnya, tetapi dia akan dikeluarkan darinya karena baginya neraka hanya seperti penjara di dunia, yang dijalaninya berdasarkan dosa dan kesalahannya. Ia juga berkata, “Walaupun mempunyai banyak dosa, baik dosa besar ataupun kecil, ia tidak kafir karenanya” (Al-Ghinayah, I, 65). Tentu hal ini jauh berbeda dengan kelompok selain Ahlus Sunnah seperti Khawarij, Mu’tazilah, dan Murji’ah. Maka tidak mengherankan jika Syeikh Rabi' bin Hadi Al Madkhali menegaskan bahwa akidah Syeikh Abdul Qadir Jailani selaras dengan akidah Ahlus Sunnah dan penentang kelompok-kelompok yang menyimpang. Ia berkata dalam kitabnya, Al Haddul Fashil, hal.136, “Aku telah mempelajari akidah Syeikh Abdul Qadir Al Jailani di dalam kitabnya, Al-Ghunyah. Ia menetapkan nama-nama dan sifat-sifat Allah dan akidah-akidah lainnya di atas manhaj Salaf. Ia juga membantah kelompok-kelompok Syi'ah, Rafidhah, Jahmiyyah, Jabariyyah, Salimiyah, dan kelompok lainnya dengan manhaj Salaf." Selain itu, sebagaimana ulamaahussunnah lainnya, Syeikh Abdul Qadir jailani adalah ulama yang sangat tegas dalam masalah tauhid dan mewanti-wanti para muridnya agar bertauhid dan tidak berbuat syirik. Ia berkata, “Bertauhidlah dan janganlah berbuat syirik” (Futuh Al-Ghaib, hal. 10). Ia juga berkata, “Berbuat ikhlaslah, janganlah kalian berbuat syirik, esakanlah Allah subhaanahu wata’alaa, dan janganlah menyelinap dari pintu-Nya. Mintalah kepada-Nya dan jangan meminta kepada selain-Nya. Mintalah pertolongan kepada-Nya dan jangan meminta kepada selain-Nya. Bertawakkallah kepada-Nya dan janganlah bertawakkal kepada selain-Nya”. (Al-Fath Ar-Rabbani). Ketika menyikapi kasus Al-Hallaj pun, dia sangat tegas. Ia berkata, “Barangsiapa yang berkeyakinan seperti keyakinan Al-Hallaj dengan perkataan-perkataan yang karenanya Al-Hallaj dibunuh (dieksekusi), maka dia adalah kafir murtad menurut kesepakatan kaum Muslimin. Orang-orang Islam mengeksekusinya karena dia berkeyakinan tentang hulul, wihdatul wujud, perkataan-perkatan yang zindik dan keyakinan-keyakinan yang kafir lainnya”. Tentang Karamahnya Syeikh Abdul Qadir Jailani dikenal memiliki banyak keutamaan dan karamah. Hal itu bisa diketahui dari kitab-kitab yang membahas profilnya. Beberapa ulama seperti Imam Adz-Dzahabi, Ibnu Rajab, Ibnu Ma’ad, dan lain-lain mengakui hal itu. Imam Adz-Dzahabi, misalnya, berkata dalam Siyar A’laam An-Nubala’, “Ia (Abdul Qadir Jailani) memiliki banyak karamah yang jelas”. Ibnu Rajab juga berkata, Ia adalah guru di masanya, teladan orang-orang yang ma’rifat, pemimpin para Syeikh, pemilik maqam dam karamah” (Ibnu Rajab, Zail Thabaqaat Al-Hanabilah, I, 290). Akan tetapi, tidak sedikit orang-orang yang menceritakan kejadian aneh yang dinisbatkan kepada Syeikh Abdul Qadir Jailani, padahal ditolak syariat dan diingkari akal. Orang yang paling banyak mengumpulkan kejadian-kejadian aneh yang dialami Syeikh Abdul Qadir Jailani adalah Ali bin Yusuf Asy-Syathnufi dalam bukunya Bahjatu Al-Asraar wa Ma’dinu Al-Anwar fi Ba’di Manaqib Al-Quthb Ar-Rabbani Abdul Qadir jailani. Para ulama telah mengingkari tulisan Asy-Syathnufi ini. Salah satunya adalah Ibnu Rajab. Ia berkata, “Cukuplah seorang itu berdusta, jika dia menceritakan yang dia dengar. Aku telah melihat sebagian kitab ini, tetapi hatiku tidak tentram untuk berpegang dengannya, sehingga aku tidak meriwayatkan apa yang ada di dalamnya. Kecuali kisah-kisah yang telah masyhur dan terkenal dari selain kitab ini. Karena kitab ini banyak berisi riwayat dari orang-orang yang tidak dikenal. Di dalamnya juga terdapat perkataan aneh, perilaku aneh, anggapan sesat dan perkataan batil yang tidak pantas untuk dinisbatkan kepada seseorang sekaliber Syeikh Abdul Jailani Rahimahullah.” (Ibnu Rajab, Zail Thabaqaat Al-Hanabilah, I, 290). Untuk menguatkan pembahasan ini, penting kiranya kita memperhatikan salah satu cerita di kitab Asy-Syathfuni tersebut. Diceritakan, Syeikh Abdul Qadir Jailani berkumpul dengan para guru sufi. Tiba-tiba ia berkata, “Telapak kakiku ini berada di atas leher setiap waliyullah”. Lalu berdirilah Syeikh Ali Al-Haitsi naik di atas kursi. Tiba-tiba telapak kaki Syeikh Abdul Qadir Jailani naik dan diletakkan di atas lehernya. Orang-orang yang hadir pun semuanya menjulurkan leher mereka. Ungkapan Syeikh Abdul Qadir Jailani di atas bermakna ia meninggikan diri-sendiri, serta merendahkan dan menginakan orang lain. Padahal, ia dikenal tawadhu’ dan tidak sombong. Hal ini dikuatkan oleh perkataannya ketika ditanya, “darimana dia”, ia menjawab, “Seorang ahli fikih dari Jailan”. Dan di antara ajaran Syeikh Jailani adalah perkatannya, “Jangan meminta kemuliaan dan kebesaran untuk diri-sendiri”, seraya menyebut firman Allah, “Negeri akhirat itu, kami jadikan untuk orang-orang yang tidak ingin menyombongkan diri dan berbuat kerusakan di (muka) bumi. Dan kesudahan (yang baik) itu adalah bagi orang-orang yang bertakwa,” (Al-Qashas: 83) Jadi, Syeikh Abdul Qadir Jailani memang memiliki banyak keutamaan dan karamah. Hanya saja, para murid dan pengikutnya banyak yang melebih-lebihkan dengan cara meriwayatkan cerita-cerita tentangnya. Kedudukannya sama dengan ulama lainnya yang juga memiliki keutamaan dan karamah dari Allah, tidak lebih. Seimbang dalam Menilai Ketika menilai sosok Syeikh Abdul Qadir Jailani, terutama mengenai karamah yang dinisbatkan kepadanya, terdapat 3 kelompok. Kelompok pertama, mereka yang mencela Syeikh Abdul Qadir Jailani dan menyifatinya dengan Dajjal. Mungkin yang menyebabkan mereka bersikap demikian karena adanya karamah dusta dan riwayat yang tidak benar yang dinisbatkan kepada Syeikh Abdul Qadir Jailani. Di antara mereka adalah Ali bin Muhammad Al-Qirmani. Kelompok kedua, mereka yang fanatik kepada Syeikh Abdul Qadir Jailani dan menerima segala sesuatu yang diceritakan tentangnya atau yang dinisbatkan kepadanya, walaupun ditolak syariat dan diingkari akal. Di antara mereka adalah Ali bin Yusuf Asy-Syathnufi Kelompok ketiga, mereka yang mengambil sikap tengah-tengah, di satu sisi menerima karamah Syeikh Abdul Qadir Jailani yang benar dan dinukil dengan penukilan yang kuat, yang tidak bertentangan dengan syariat, dan sisi lain juga menolak yang tidak memenuhi kriteria itu. Di antara mereka adalah Imam Adz-Dzahabi . Sikap terbaik dalam hal ini adalah sikap kelompok ketiga. Mereka seimbang dalam menilai Syeikh Abdul Qadir Jailani. Tidak ekstrim kanan, dan tidak ekstrim kiri. Sikap tawazzun (seimbang) seperti ini adalah sikap yang dimiliki oleh Ahlus Sunnah wal jama’ah ketika menilai sesuatu. Wallahua’lam bis shawab.* Penulis adalah pengajar di Sekolah Tinggi Agama Islam, Luqmanul Hakim (STAIL) Red: Cholis Akbar

Read more


Inilah Karakter yang Harus Dimiliki Para Pendidik!

PROBLEM karakter dan moral di zaman ini tidak saja melanda mereka yang masih berstatus sebagai pelajar, tetapi juga orang tua, termasuk para guru yang dikenal sebagai pendidik. Kasus terbaru tentang pelecehan seksual yang dilakukan oknum guru kepada murid di Jakarta, menambah statistic tercorengnya dunia pendidikan kita. Tentu, kita semua prihatin terhadap masalah seperti itu. Belum lagi kalau melihat para guru turun ke jalan menuntut hak-hak mereka, sedih rasanya. Mengapa nasib para guru di negeri ini sungguh sangat memprihatinkan, sampai-sampai mereka yang terhormat harus sama seperti buruh pabrik. Terlepas dari apapun problem yang melanda dunia pendidikan saat ini. Kewajiban setiap guru adalah melahirkan generasi Qur’ani, generasi Rabbani. Jadi, sudah semestinya setiap guru memperhatikan apa saja yang perlu diupayakan agar profesinya sebagai guru benar-benar dapat mendatangkan berkah dan ridha Allah Subhanahu Wata’ala. Niat Tulus Lillahi Ta’ala Kendala apapun Terlepas dari apapun yang kini menjadi kekurangan dunia pendidikan, termasuk perhatian pemerintah terhadap guru, serta banyaknya kualitas guru yang belum sesuai harapan, tidak mengharuskan para guru salah pilih dalam mengambil keputusan. Para guru harus tetap optimis. Sebab hakikat kehidupan ini sesungguhnya bukan ada di dunia, tetapi di akhirat. Maka dari itu mari kembali melihat niat kita menjadi guru. Apakah niat menjadi guru memang untuk hidup mewah atau ingin melahirkan generasi rabbani? Jika kita ingin mendapat ridha Allah dengan menjadi guru, sungguh pilihan itu adalah pilihan yang sangat mulia. Menurut Abu Dawud niat dalam Islam adalah separuh dari agama Islam. Artinya, niat adalah perkara penting. Dan, siapa saja yang ingin mendapat kebahagiaan yang hakiki hendaknya setiap amal perbuatannya diniatkan karena Allah Subhanahu Wata’ala. Karena setiap pekerjaan tergantung pada niat. Rasulullah shallallahu alayhi wasallam bersabda, “Sesungguhnya amal perbuatan tergantung pada niat, dan sesungguhnya setiap orang sesuai dengan niatnya.” (HR. Bukhari Muslim). Membangun Karakter Dasar Menurut Dr. Abdullah Nashih Ulwan dalam bukunya Tarbiyatul Aulad dikatakan bahwa seorang guru hendaknya memiliki lima karakter dasar. Pertama, IKHLAS. Para guru hendaknya mencanangkan niatnya semata-mata untuk Allah dalam seluruh pekerjaan edukatifnya, baik berupa perintah, larangan, nasehat, pengawasan ataupun hukuman. Ikhlas itu “melupakan pandangan manusia dengan selalu memandang kepada Allah Subhanahu Wata’ala” sebagaimana sabda Nabi; “Engkau beribadah kepada Allah seakan akan engkau melihat-Nya dan jika engkau tidak melihat-Nya maka sesungguhnya Ia melihatmu.” Dalam konteks ikhlas ini Rasulullah shallallahu alayhi wasallam bersabda, “Sesungguhnya Allah Azza wa Jalla tidak menerima amal perbuatan, kecuali yang dikerjakan secara tulus (ikhlas), semata-mata untuk-Nya, dan mengharapkan keridhaan-Nya.” (HR. Abu Dawud). Kedua, TAKWA. Setelah ikhlas, seorang guru harus takwa sebagaimana telah didefinisikan oleh para ulama, yaitu: menjaga agar Allah tidak melihatmu di tempat larangan-Nya, dan jangan sampai Anda tidak didapatkan di tempat perintah-Nya. Mengerjakan apa yang diperintahkan Allah dan meninggalkan larangan-Nya. وَأَنْ أَقِيمُواْ الصَّلاةَ وَاتَّقُوهُ وَهُوَ الَّذِيَ إِلَيْهِ تُحْشَرُونَ “Dirikannya shalat serta bertakwa kepadaNya." [QS: al an’am: 72] Dalam bahasan takwa ini, Umar bin Khaththab pernah berdialog dengan Ubay bi Ka’ab. Sayyidina Umar bertanya, “Apa yang dimaksud takwa itu?” Ubay pun menjawab, “Apakah kamu pernah berjalan pada jalan yang berduri?” Umar menjawab, “Ya, pernah”. Ubay pun bertanya lagi, “Apa yang kamu lakukan?” “Aku singkirkan duri itu,” jawab Umar. Ubay pun berkata, “Itulah takwa”. Begitu pentingnya takwa ini, Allah Ta’ala pun mengulang-ulangnya dalam banyak ayat. Sekedar untuk menyebut di antaranya teradapat pada QS. 3: 102, QS. 33: 70, QS. 59 : 18, dan QS 22 : 1. Oleh karena itu kriteria manusia yang paling mulia dalam Islam bukanlah mereka yang memegang kekuasaan atau pun menguasai harta kekayaan, tetapi siapa yang paling takwa. Rasulullah bersabda, “Ditanyakan, wahai Rasululah: siapakah manusia yang paling mulia?” Rasulullah bersabda, “Yang paling takwa di antara mereka”. Lebih spesifik Rasulullah juga berpesan takwa kepada para guru. “Takwalah kepada Allah, berlaku adillah kepada anak-anakmu, sebagaimana kamu menginginkan mereka semuanya berbakti kepadamu.” (HR. Thabrani). Jadi, sangat penting setiap guru memiliki mental takwa ini. Jika tidak, maka anak akan tumbuh menyimpang, terombang-ambing dalam kerusakan, kesesatan dan kebodohan. Logikanya sederhana, bagaimana anak murid akan takwa jika gurunya justru tidak memberi keteladanan. Ketiga, ILMU. Hal ini sudah barang tentu tidak perlu dibahas panjang lebar. Karena guru adalah penyampai ilmu maka sudah selayaknya guru gemar menuntut ilmu. Sebab menuntut ilmu dalam Islam adalah kewajiban. Keutamaan lain yang bisa diperoleh seorang pendidik adalah pahala yang tidak terputus, selama ilmu yang ia ajarkan terus diamalkan dan diajarkan kepada orang lain. Hal ini sebagaimana disabdakan Rasulullah shalallahu ‘alaihi wa sallam, “Jika seorang manusia meninggal dunia, maka pahala amalnya akan terputus, kecuali tiga hal: Shadaqah Jariyyah, ilmu yang bermanfaat dan anak shalih yang mendoakan kedua orang tuanya.” (HR. Bukhari dan Muslim) Keempat, SABAR. Termasuk sifat mendasar yang dapat menolong keberhasilan guru dalam tugas mendidik adalah sifat sabar, yang dengan sifat itu anak akan tertarik kepada gurunya. Dengan kesabaran, anak murid akan berhias dengan akhlak yang terpuji, dan terjauh dari perangai tercela. Apalagi, mengajar anak di zaman sekarang, yang nota bene lebih banyak menguras energi dan perasaan. Oleh karena itu, Allah memberikan peringatan berulang kali kepada kita agar tetap sabar dalam upaya apapun, lebih-lebih dalam mendidik generasi masa depan. Jadi, apapun tantangan dan hambatan seorang guru dalam mendidik hendaknya sabar menjadi pilihan utama. “Kecuali orang-orang yang sabar (terhadap bencana), dan mengerjakan amal-amal saleh; mereka itu beroleh ampunan dan pahala yang besar.” (QS. 11 : 11). Kelima, BERTANGGUNG JAWAB. Tanggung jawab ini menurut Nashih Ulwan meliputi aspek keimanan, tingkah laku keseharian, kesehatan jasmani-ruhani, maupun aspek sosialnya. Jadi, bukan semata-mata tanggung jawab guru konseling jika ada anak tidak disiplin. Semua guru, termasuk kepala sekolah turut bertanggung jawab. Karena setiap guru adalah pemimpin bagi anak muridnya. Dalam hal ini Rasulullah bersabda, “Sesungguhnya Allah akan bertanya kepada setiap pemimpin tentang kepemimpinannya, apakah dipelihara atau disia-siakan-nya, sehingga bertanya kepada laki-laki tentang keluarganya.” (HR: Ibn Hibban). Ketika seorang guru memiliki lima karakter mendasar sebagai pendidik, insya Allah kerusakan, kelemahan atau kekurangan di dunia pendidikan dapat dieliminir secara menyeluruh. Karena sebagus apapun sistim pendidikan, jika gurunya tidak memiliki karakter dasar itu, maka terseok-seoklah pendidikan kita. Wallahu a’lam.*/Imam Nawawi Red: Cholis Akbar

Read more

GUNTUR. Diberdayakan oleh Blogger.
Marhaban ya Ramadhan Marhaban Syahrusiyami Minal Aidzin walfaidzin Maaf Lahir Batin

About This Blog

Blog Archive

Web hosting for webmasters